Wanita Calon S2 Terkejut Dijodohkan Ayahnya dengan Sopirnya, Tapi Ternyata Alasannya Bikin Terkejut Banyak Orang!!

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Bagi seorang wanita, bukanlah hal yang mudah untuk menerima perjodohan. Setiap orangtua pastinya ingin pendamping anaknya berasal dari keluarga yang baik dan dapat membimbing ke arah kebaikan.

Meskipun demian, terkadang wanita yang dijodohkan tetap merasa bimbang, karena mereka tidak menikah dengan pria pilihan sendiri. Hal itu tentu saja membuat kebimbangan apakah harus menolak atau menerima perjodohan.



Tapi, bagaimanapun, jodoh merupakan urusan Tuhan, layaknya rezeki dan kematian. Manusia hanya bisa berdoa dan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupnya.

Seperti kisah yang dialami wanita satu ini seperti dikutip dari akun Facebook Khusnul Khatimah. Ia dijodohkan dengan sopir ayahnya. Meski awalnya menolak, wanita ini kemudian dengan yakin menerima perjodohan tersebut.

Berikut kisahnya selengkapnya.

Aku merupakan wanita berusia 26 tahun yang akan segera menempuh pendidikan S2. Di keluargaku, pendidikan dan karir jauh lebih penting dibanding pernikahan.

Namun, semua berubah ketika seorang lelaki dikenalkan Bapak sebagai mobil barang di salah satu usaha dagang miliknya. Sopir muda ini terbilang santun dan tak banyak bicara.

Sopir mobil barang di UD (usaha dagang) milik bapak baru ganti sebulan ini. Bapak memang sengaja memberitahu orang rumah bila ada orang baru di "UD'-nya. Bukan apa-apa, sebab barang dagangan kadang transit di rumah dulu untuk dicek sebelum dibawa ke gudang.

Aku, kakak atau ibu bergantian mengecek barang bila tak sibuk. Dulu pernah kejadian ada orang mengaku sopir baru, pada akhirnya melarikan mobil bapak. Sejak itu, bapak mewajibkan orang rumah tahu semua karyawan bapak.

Waktu berjalan, genap sebulan sopir baru bapak bekerja. Masih muda, santun tak banyak bicara. Hampir setiap saat bapak memujinya. Yang baiklah, yang pinterlah yang serba bisalah, heran aku dibuatnya. Pada anak-anak sendiri, nyaris bapak tak pernah memuji.

Pujian Bapak tentu sempat membuatku keheranan. Kehadirannya seakan mengubah banyak kebiasaan Bapak. Musik keroncong yang biasa selalu terdengar di rumah dan tape mobil kita tak pernah diputar lagi dan digantikan dengan muratal atau ceramah agama.

Ibu pun terlihat mulai meniggalkan salon, dandanan modern, kuteks, serta perkembangan fashion yang selalu diikutinya.

Benarkah pujian itu? Diam-diam kuamati sopir muda itu. Datang lebih cepat atau lepas Zhuhur itu jadwal kerjanya. Kata bapak, hal itu sudah diizinkannya. Tiap masuk gerbang, tak pernah lupa mengucap salam. Bila tak ada bapak, ia sama sekali tak mau masuk rumah, memilih menunggu di depan pintu meski sudah ibu persilakan. Bila bicara dengan ibu ia lebih hanyak menunduk, sedikit senyum tapi nada bicaranya tetap terdengar ramah dan santun. O... pantas saja bapak suka padanya.

Yang lebih mengherankan, sekarang kalau keluar kota untuk urusan pribadi sekalipun, bapak sering mengajaknya. Padahal selama ini, bapak biasa nyopir sendiri. Bila bapak tak sempat mengantar ibu belanja, bapak pun mempercayakan hal itu padanya. Entah kenapa aku tak pernah bertanya meski aku penasaran. Nonton TV paling saat berita, padahal bapak penggemar sinetron. Nama artis-artis pun bapak hafal.

Sore itu, aku pulang dari kantor tempatku bekerja. Tak ada yang aneh dengan bapak dan ibu, karena seperti biasa mereka berdua selalu duduk di beranda menunggu aku dan kakakku pulang. Tapi kulihat senyum mereka tak seperti biasanya. Benar saja, usai makan malam, bapak membuka pembicaraan yang tak pernah kuduga sebelumnya. ''Berapa usia kamu sekarang?' Ah, bapak pakai tanya umurku. "Hampir 26 tahun. Kenapa Pak?" "Belum ingin menikah? Keburu jadi perawan tua lho nanti..."

Makanan jadi sulit kutelan. Sejak kapan bapak ingin anaknya cepat-cepat kawin? Buktinya 2 kakak perempuanku menikah saat usia mereka kepala 3. Malah masih kuingat kata bapak, usia kepala 3 baru matang dan siap menikah. Kok sekarang berubah?! Jujur aku dan kakak-kakakku tumbuh dalam pendidikan sekuler dan menikah di usia berapa pun tak pernah jadi soal. Karir di mata keluarga kami begitu penting. Tapi, sekarang bapak tiba-tiba bicara pernikahan juga agama. Dan satu hal yang baru kusadari sekarang, tentang ibuku... Ibuku adalah wanita modern tulen. Salon, berdandan dan segala trendsetter fashion tak pernah ketinggalan diikutinya. Sekarang? Mana kutek di kukunya? Mana kuku panjangnya? Mana make up-nya? Tak terlihat sama sekali. Tapi diam-diam kupuji dalam hati, wajah ibu terlihat lebih 'ringan' dan segar tanpa make up.

"Kau mau nanti bapak carikan. Atau barang kali kamu sudah punya calon sendiri?" Makanan makin terasa sulit kutelan. Pacar? Aku memang pernah naksir beberapa pria, tapi tak pernah sampai pacaran.

"Siapa calon Fa, Pak?" Mas Dodi tiba-tiba menyela.

"Sopir bapak..." ucap bapak tanpa dosa.

Mas Dodi tertawa. Aku terperanjat berdiri, setengah melotot, tak percaya.

"Tuh... Pak, apa aku bilang. Bapak ngga' percaya sih. Belum-belum Fa aja sudah melotot, gimana mau nerima?!" Ternyata mas Dodi sudah tahu rencana bapak.

Kutinggalkan meja makan dengan rasa hancur dan terhina. Masa' bapak tega menikahkanku dengan sopir? Apa kata dunia?! Calon S2 kok cuma dapat sopir...?! Aku menangis di kamar, membayangkan semua mimpi buruk itu. Ibu dan bapak menyusul ke kamar. Menjelaskan semuanya juga soal siapa "mimpi burukku" itu. Aku jadi malu juga setengah tak percaya pada cerita bapak. Aku diberi kesempatan untuk berpikir sepekan. Hanya sepekan. Kata bapak untuk kebaikan semua dan sebelum kesempatan itu hilang. "Shalat Istikharah, Fa. Biar kamu yakin!" pesan ibu.

Tak sampai sepekan, tepatnya 3 hari sebelum batas waktu, aku memberi jawaban "ya" pada bapak, tanpa keraguan sedikit pun. Bapak memelukku, ibu pun menangis. Kulirik mas Dodi mukanya memerah. Sopir bapak memang bukan sopir biasa. Ia lulusan sarjana teknik dan tengah menyelesaikan gelar pasca sarjananya, kala itu atas beasiswa. Kerja sebagai sopir di tempat bapak untuk menutup biaya hidup selama kuliah, juga untuk biaya keluarganya. Ia memang yatim. Praktis sebagai satu-satunya lelaki di rumah, ia menggantikan fungsi kepala rumah tangga. Hal itu baru kutahu saat hendak menikah.

Sopir muda ini memang bukan sopir biasa. Ia merupakan sarjana teknik yang kini tengah menyelesaikan gelar pasca sarjananya dengan beasiswa.

Sebagai anak yatim, ia bekerja sebagai sopir untuk menutup biaya hidup selama kuliah, juga biaya keluarganya. Meski awalnya bimbang, aku yakin dia adalah lelaki terbaik yang telah dikirimkan Tuhan sebagai jodohku.

Sepekan kemudian, aku menikah dengan sopir bapak. Dua pekan usai menikah, aku diboyong suami terbang ke negeri Sakura. Suami menjalani kontrak kerja di sana. Kini kami sudah dikarunia tiga buah hati. Dua lahir di negeri seberang, seorang di Indonesia. Beberapa bulan lagi kontrak suami akan habis, bila tak diperpanjang dan tak ada aral melintang, insya Allah kami akan kembali ke tanah air.

Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90